BLOGSPOT.COM
CIPUTAT–Cecep Rahman (64) hanya duduk pasrah. Istrinya, Sri Rukmini (61), putranya Fakhrurozi (25), cucunya Dita Naswahab Syarif (10 bulan) serta besannya, tewas ditelan derasnya air akibat jebolnya tanggul Situ Gintung Ciputat Tangerang Jumat (27/3) subuh. Cecep yang ditemani putrinya Helda dan mantunya Cicih, berusaha tabah melepas jenazah istri dan putranya yang dimandikan dan dikafankan di kampus STIE Achmad Dahlan Ciputat.
”Karena terbawa air yang sangat deras, saya nyangkut di pohon pinang. Lumayan tinggi, tapi air masih tetap mengejar. Di tengah usaha menyelamatkan diri, saya mendengar teriakan dari seseorang yang ternyata mantu saya Cicih (23). Dia juga nyangkut di pohon. Dengan keikhlasan hati saya, saya berusaha semaksimal mungkin mudah-mudahan saya selamat, andaikata saya nggak selamat,
umur saya dah nggak ada, saya usahakan bantu mantu saya agar ia selamat,” ungkap Cecep Rahman pilu yang ditemui //Republika di Kampus STIE Achmad Dahlan Gintung Ciputat Jumat (27/3) petang.
Lebih lanjut Cecep mengungkapkan, waktu di atas pohon pinang, ia menyaksikan air masih deras. ”Kebetulan ada kasur yang lewat, saya suruh mantu saya untuk naik kasur, sambil saya berusaha berenang berpegangan kepada sebuah balok, terus saya berusaha melawan derasnya arus air. Saya sempat kehabisan tenaga, beruntung kemudian saya bisa berpegangan ke pohon rambutan. Di atas pohon rambutan saya sempat bertahan selama lebih dari satu jam sambil menunggu nyusutnya air. Ini seperti Tsunami kecil, yang kejadiannya nggak pernah keduga sebelumnya,” jelas Cecep.
Musibah yang terjadi setelah shalat subuh itu, kata Cecep, memang nggak pernah keduga. ”Istri saya sempat bilang, Pak di luar hujan. Begitu saya longok dari pintu, ternyata bukan hujan yang datang, tapi air kencengnya bukan main. Saya gendong istri saya, karena derasnya air dan cepetnya air, nggak bisa lagi saya, aduh…gimana ya?” ungkap Cecep yang mengami luka di bibirnya karena terbentur benda keras.
Helda (33), putri Cecep juga selamat. Helda harus bekerja keras untuk menyelamatkan diri. Sambil menggendong kedua anaknya yang masih berusia dua tahun dan lima tahun, Helda berusaha lari sekencang-kencangnya. ”Saya juga menjadi korban, saya bawa anak saya yang berumur dua tahun dan lima tahun ke kampus UMJ pukul setengah lima pagi. Lagi di dalam rumah, lagi beberes maklum masih pagi. Nggak tahu kejadian datangnya air. Pas buka pintu, air sudah nggak ketahan. Saya bawa anak saya, pokoknya saya jalan saja,” kisah Helda.
Bagi lima anak ini, peristiwa Jumat subuh itu seperti tsunami kecil. ”Kayak Tsunami aja gitu. Airnya mengerikan banget, dan banyak yang keburu nyelamatin diri,” tandas Helda haru. Helda beruntung, ia bersama suami dan kelima putranya selamat dari musibah jebolnya tanggul Situ Gintung.
Helda sendiri mengaku tidak mendengar ada tanda-tanda bakal datangnya musibah. Diakuinya, Kamis (26/3) sore, terjadi hujan deras. ”Memang kamarin sore sempat hujan deras, maghrib berhenti hujannya. Biasa saja, kalau pun terjadi banjir bukan hal aneh. Jadi, kita nggak ada yang curiga bakal ada musibah seperti ini,” ungkap Helda polos. Ia sendiri tak sempat berpikir macam-macam, begitu melihat banjir datang, ia langsung membawa kedua anaknya yang masih kecil, berusaha menyelamatkan kedua anaknya dengan naik ke kampus UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Syakir (18), salah seorang putra Helda yang paling besar, juga sempat terseret banjir. Ia beruntung diselamatkan pagar kampus UMJ. ”Saya juga sempat kebawa, tapi alhamdulillah saya sempat berpegangan sekuat tenaga ke pagar kampus UMJ. Dari situ saya berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas genteng kampus UMJ. Dan bertahan di sana selama kurang lebih dua jam,” kenang Syakir mengharukan.
Helda mengaku, ia sempat terpisah dengan suaminya Bakhtiar dan ketiga anaknya. ”Alhamdulillah tadi pagi kami dipertemukan Yang Maha Kuasa. Dan. alhamdulillah semunya selamat. Sebenarnya rumah kami dan rumah orang tua kami tidak jauh jaraknya, tapi rumah ibu kami agak ke dalam, sehingga agak sulit menyelematkan diri. Rumah kami lebih dekat dengan kampus UMJ,” ungkap Helda.
Apa yang dilakukannya selama bencana berlangsung? Helda mengaku hanya beristigfar dan memohon ampun serta pertolongan dari Yang Maha Kuasa. ”Menyaksikan dahsyatnya terjangan air, tak ada yang bisa kita lakukan selain istigfar dan memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa. Kayaknya cuma
dalam hitungan detik. Jadi, kita nggak bisa macam-macam. Yang saya pikirkan, bagaimana saya bisa menyelamatkan anak saya yang berusia dua tahun dan lima tahun,” ujarnya.REPUBLIKA ONLINE