Arsip untuk September 27th, 2009

Nenek hingga Cucu Jadi Ratu Kecantikan

[Image: 92007large.jpg]

LONDON – Keluarga Inggris yang satu ini seolah menjadi dinasti ratu kecantikan. Betapa tidak, tiga generasinya menjadi langganan pemenang kontes kecantikan.

Suzanne Celensu yang meraih mahkota kontes Miss Bumi Inggris bulan lalu mengikuti jejak ibunya, Zoe, yang pernah menjadi Miss Silver Jubilee. Sementara itu, sang nenek, Betty Spink, semasa mudanya hampir saja meraih mahkota Miss Inggris Raya.

Suzanne, 25, mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berniat masuk ke ajang kontes kecantikan hingga mendengar ada kompetisi yang mencari wanita dengan komitmen kuat peduli atas isu-isu lingkungan.

”Ibu saya memang seorang wanita cantik berambut pirang, tapi saya tidak seperti itu. Jadi, saya sama sekali tidak pernah berpikir bahwa saya bisa menjadi ratu seperti dia,” katanya. ”Rambut saya hitam dan jauh lebih sporty. Kulit saya gelap karena saya senang sekali bermain tenis,” kata mahasiswi yang baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di North Carolina University, Amerika Serikat, itu.

http://jawapos.com/

Kemiskinan di China Mengibakan dan Mengejutkan

anak_miskinPintu rumah suku Yi terletak di samping rumah, bukan di tengah- tengah, sudut yang paling jauh jaraknya dari pintu biasanya adalah tempat tidur istri tuan rumah (dalam adat tradisi suku Yi tempat tidur suami dan istri adalah berbeda), di samping tempat tidur adalah merupakan pusat keluarga – perapian, anak sulung atau tamu akan diberikan tempat duduk di samping perapian pada posisi yang paling jauh dari pintu, wanita dan anak-anak di sebaliknya. Sebagian besar kamar memiliki lemari kayu, tangki air dari tanah campuran. Karena cuaca dingin, rumah ini hampir tidak ada jendela, di dalam rumah suram tidak bercahaya.

Di bawah atap, ada satu ruangan kosong yang mirip loteng, pada umumnya satu sisi tertumpuk jerami, dan yang lain ditiduri penghuni. Atap dibuat dari panel genteng, keluarga miskin membuatnya dengan plastik, kemudian dibuka satu lubang jendela yang digunakan untuk mengeluarkan asap dan cahaya masuk, seluruh ruangan hampir semua bocor.

Makanan dan Pendapatan:

Di Bu Tuo tananaman utama adalah kentang, oleh sebab itu makanan pokok adalah kentang, kebanyakan keluarga juga akan menanam sejumlah kecil tananam gandum hitam dan jagung, mereka menyebut jagung dan gandum sebagai makanan halus; kentang disebut makanan kasar, tanah di sini tidak hanya lapisan tanahnya tipis, namun juga gersang, di samping kentang, hasil lain sangat rendah, jika tidak mampu membeli pupuk, maka hanya dapat menanam kentang.

Ketika panen kentang yang besar dijual , yang kecil untuk makanan keluarga, juga untuk makanan babi. Sebagian besar keluarga yang telah saya kunjungi kebanyakan di sudut rumah mereka tergeletak setumpuk  kentang yang bertunas panjang. Tunas terpanjang  sampai 2 kali panjang pensil. Kita semua tahu bahwa  kentang yang bertunas sudah beracun, yang bewarna hijau juga beracun, tidak bisa dimakan, tetapi untuk semua orang di Bu Tuo makan kentang dalam kondisi begini. Bila beberapa anak-anak ditanya, apakah keluarga mereka tahu kentang bertunas beracun, mereka semua tahu itu. Sebenarnya   kita juga telah memakannya, paling banyak sekali, teman saya sekali makan 7 buah, namun baik-baik saja, tidak tahu kenapa. Tidak dapat menemukan dasar ilmiahnya. Apakah dapat dikatakan Tuhan secara khusus memperhatikan orang-orang  Bu Tuo?

anak-(3)Penduduk setempat sehari makan dua kali, siang sekitar jam 10, sore sekitar jam 6, satu-satunya bumbu adalah garam dan merica.

Menurut informasi bahwa orang yang sedikit mampu  akan membeli beras untuk makan, tapi dari 40 keluarga miskin yang saya kunjungi,  tidak pernah melihat ada sepanci nasi dalam keluarga tersebut, bahkan tidak melihat sebutir  beras pun. Sebagian besar keluarga mengatakan bahwa makanan kentang pun tidak cukup untuk dimakan, jika kehabisan makan, mereka meminjam  kentang dari  kerabat.

Bila butuh uang untuk membeli barang-barang,  untuk  membayar uang  sekolah anak-anak bagaimana?  Sangat sederhana, jika ingin membeli garam, mereka menjual telur, atau membawa    ayam di rumah menjualnya, dan kemudian membeli garam, jika ingin membeli pupuk atau untuk membayar biaya pendidikan, itu harus melihat apakah di rumah masih ada babi, domba, anak sapi yang  bisa dijual ……

Di sini, tidak minum air panas, mereka tidak memiliki kayu yang cukup, di dataran tinggi bila harus merebus air akan terasa itu adalah suatu pemborosan, karena kayu bakar terlalu berharga, oleh karena itu suku Yi memikirkan “Obor Festival” untuk perayaannya. Penduduk desa umumnya meletakkan sebuah tong di dalam rumah mereka sendiri, yang berisi air yang dipikul oleh wanita atau anak-anak dengan bahunya dari sungai yang jaraknya beberapa mil,  ada sebagian dari tampungan air hujan. Bila haus, langsung di sendok dan meminumnya.

Kesehatan dan Penyakit

Secara adil dapat dikatakan bahwa kita melihat Pemerintah Bu Tuo telah bekerja keras dalam bidang pendidikan dan kesehatan,  di  sana saya melihat rumah yang paling indah adalah sekolah dan rumah sakit.

Namun di desa kebanyakan penduduknya  tidak mempunyai konsep kesehatan, baik anak-anak maupun orang dewasa tidak cuci muka dan cuci tangan,  anak-anak desa yang berlarian masih penuh  dengan ingusan panjang, wajahnya tampak kotor sekali, tidak dapat melihat tampilannya.

Di halaman tumpukan pupuk, manusia dan hewan bercampur tidur bersama — ayam dapat naik ke atas ranjang,  babi, sapi, kambing dapat berkeliaran dalam rumah … semua ini tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan kemiskinan, masalah utama adalah persepsi. Dalam beberapa keluarga kaya, saya sudah melihat manusia dan hewan sudah dipisahkan, halaman sudah bersih dan bahkan beberapa dari mereka sudah membangun sebuah toilet.

Dalam kondisi seperti itu, orang sangat rentan terhadap penyakit, saya memeriksa mata 8 anak-anak, semua menderitaan  trakoma, di desa sering terlihat anak-anak dengan perut besar, tak diragukan lagi dalam perut memiliki cacing parasit. Lalu kalau sakit bagaimana? Warga setempat mengatakan kepada saya: Satu-satunya cara bagi masyarakat miskin adalah bertahan, bila bisa bertahan maka akan sembuh, bila tidak penyakit kecil akan menjadi penyakit besar bahkan meninggal.  A Hei seorang kepala sekolah  dengan tenang mengatakan kepada saya ayahnya saat berumur 41 tahun meninggal dengan kondisi ini …

anak-(3)Petani mengandalkan alam agar bisa makan, yang paling mengkhawatirkan adalah kalau ada keluarga yang sakit, untuk menyembuhkan meminjam uang, dan kemudian juga jika ada  kematian keluarganya  mereka meminjam uang untuk pemakaman, sehingga keluarga miskin semakin miskin.

Desa Fei  Ge adalah model desa teladan bantuan kemiskinan, di sini kondisi kehidupan secara keseluruhan relatif lebih baik, tetapi ketika kami datang ke kepala desa tua Fei Ge, di luar dugaan  kami, karena istrinya sakit dan akhirnya meninggal, di rumah hanya ada dua ekor sapi, juga sama-sama adalah atap papan, hanya ada satu tempat tidur, tidak memiliki perabot apapun di dalam. Anak kepala desa sangat pintar, ia adalah satu-satunya anak yang meneteskan  air mata ketika kami lakukan survey, pada saat itu saya juga menemukan kekejaman saya, saya bertanya secara rinci mengapa anak-anak  begitu miskin, bagaimana ibunya meninggal, beban dia, adiknya, uang sekolah, biaya kehidupan siapa yang tanggung……. Ketika bertanya tentang kematian ibunya, anak itu menangis …

Penduduk desa yang dekat ke jalan raya, perlahan-lahan mulai tahu bahwa pergi keluar untuk bekerja, telah ada orang-orang yang bekerja di luar rumah, karena mempunyai kesempatan kontak dengan dunia luar, oleh sebab itu, sejumlah sikap kesehatan dan kebiasaan sudah mirip dengan kami,  atau dapat dikatakan mereka sudah dapat memahami, harus mencuci tangan sebelum makan, dan bila makan  sup tidak dengan kebiasaan menggunakan sendok yang sama dengan orang lain.

Kebijakan Keluarga Yi memungkinkan punya tiga anak, karena ada fenomena yang sangat serius dalam mementingkan anak laki dan melalaikan anak perempuan. Kewajiban orang tua jatuh pada putranya, kamar yang dimiliki dipakai oleh putranya, tidak kewajiban mengasuh anak perempuan lainnya lain.

Wanita Yi sangat rajin, dalam pengamatan saya sering terlihat anak gadis yang berumur 17 – 18 tahun  berjalan di gunung memikul keranjang penuh batu seberat 4.50 kg,  yang digunakan untuk membangun rumah, melihat nenek yang berumur 60 -70 tahun duduk di atas tanah di bawah terik matahari menyulam kain, di desa dapat dilihat di mana-mana anak perempuan yang berumur 6 -7  tahun menggendong adik-adiknya.

Status ekonomi wanita Yi dalam keluarga sangat rendah, ketika kami bertanya tentang situasi utang rumah tangga, banyak ibu rumah tangga tidak bisa menjawab dengan angka yang tepat, cuma mengatakan hanya kaum  pria yang tahu.

Tingkat pendidikan perempuan Yi  sangat rendah, sebagian besar ibu rumah tangga yang kami kunjungi  mayoritas tidak bisa berbahasa Han, anak gadis yang berumur 16 – 17 pada dasarnya tidak pernah bersekolah.

Hari pertama, anak yang berumur 17 tahun menggunakan bahasa Yi yang saya tidak mengerti dengan suara kecil menjawab, seorang anak yang menemani mengatakan kepada saya bahwa dia tidak pernah menghadiri sekolah walau satu hari pun, tahun depan dia harus menikah, dan ayahnya telah menerima kado uang pengantin dari seseorang. Saya menatapnya, dari matanya saya mau melihat apakah ada yang patut disesalkan, tetapi saya hanya melihat bibir yang tersenyum dan kekosongan dalam bola mata di wajahnya. Ketika mendengar ayahnya mengatakan bahwa dia pernah sekolah sampai SMP, sekarang dapat menghasilkan uang dengan mengerjakan sedikit pembukuan sederhana, saya tersenyum dan berkata dia adalah seorang berpendidikan tinggi, tapi di batin saya marah ingin menonjoknya, pendidikannya begitu tinggi namun tidak mengirim putrinya ke sekolah?

Keesokan harinya, di sekolah desa hanya ada guru pengganti, di dalamnya tidak memiliki seorang murid wanita pun … … hari ini, saya bermain dengan gembira bersama anak-anak, saya belum menyadari bahwa gagasan mengutamakan pria ini sudah mengakar sedalam apa di sana.

Hari keempat, saya melihat di desa ada sekelompok besar anak perempuan yang menggendong adik atau membawa cangkul, begitu bertanya saya tahu, mereka semua tidak bersekolah, tapi sangat jelas bahwa separuh dari mereka pernah bersekolah … … Pada hari itu, ketika saya mengeluh bahwa semasa  kanak-kanak saya yang bahagia namun juga mulai menunjukkan kehampaan.

Kemudian, saya melihat anak perempuan berumur 13 tahun, tidak pernah sekolah sehari pun  ; juga melihat anak perempuan yang berumur 12 tahun, tidak masuk sekolah karena  satu matanya buta; juga melihat anak perempuan yang berumur 13 tahun hanya sekolah sampai kelas III, alasannya adalah karena sekolah kelas empat terlalu jauh; saya melihat lebih banyak lagi bayangan kecil yang  mencangkul di tanah, begitu bertanya, dia baru berumur  10 tahun tapi dalam membajak tanah sudah sangat mahir… … saat itu, saya merasa sangat lemah, di sini sangat miskin, tapi yang paling menderita adalah anak-anak gadis itu dan perempuan … …

Di sini pernikahan seorang gadis sepenuhnya ditentukan oleh orang tuanya, kecuali mereka mempunyai penghasilan sendiri baru mungkin memilih suaminya, tetapi mereka bahkan sekolah juga  tidak bisa, apakah ini masih mungkin?

anak-(2)Saya ingat ketika kami datang melihat jalan di gunung, melihat beberapa  anak perempuan Yi  dengan air mata menyanyikan lagu Yi, suara lagu-lagu yang pedih  menyimpan kepahitannya, dalam suara nyanyian, para wanita meratapi perkawinan yang tidak bahagia dan kesedihan hidupnya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka dikurung dalam kandang ini, mereka telah kehilangan hak untuk kebebasan.

Di kota kecil yang sederhana itu, selalu melihat laki-laki di bawah sinar matahari minum arak, ketika kami keluar melakukan pengamatan mereka lagi berjemur di bawah sinar matahari, ketika pengamtan  selesai , dan kembali ke jalan pada malam hari, yang kami temui orang-orang yang lagi mabuk di jalan juga orang-orang itu.

Kaum perempuan bekerja keras di sawah, bertelanjang kaki, berulang-ulang  mencangkul, tampaknya sepanjang masa mereka sudah seperti itu bekerja keras terus, di situ  terkondensasi kepedihan perempuan Yi.

Pada akhirnya, apakah kami harus menyebutnya sebagai kebiasaan tradisional atau masalah peninggalan sejarah? Walaupun dari masyarakat perbudakan masuk ke masyarakat  sosialisme, pada suku ini bukanlah berdampak kecil, justru karena alasan aneh ini dalam pandangan saya, yang menghasilkan lebih dari 70 %  anak perempuan tidak masuk sekolah, di rumah hari demi hari, tahun demi tahun melakukan pekerjaan rumah tangga, membawa  adik-adik bekerja di ladang,  mulai dari beberapa tahun mereka sudah melakukannya hingga sampai remaja berumur 15 atau 16 tahun sudah siap dinikahkan, sementara nilai mereka hanya sedikit uang kado lamaran yang akan diterima oleh orang tua.

Bagi saya, lima belas atau enam belas tahun, masih begitu muda dan masih dapat manja di pangkuan  orangtua mereka, namun mereka masih terlalu muda sudah mulai menahan tekanan kehidupan komplek yang akan mereka alami, begitu lahir sudah begitu sibuk namun juga dengan hampa melewati dunia yang mereka miliki dan kemudian menunggu reinkarnasi berikutnya. (Dajiyuan/lim)

rabaru.or.id