Umur Henry Wijaya 90 pada 09-09-09 dan Mereka Yang Fanatik Angka 9


Henry Wijaya , 90 tahun pada 9-9-2009
Umur Henry Wijaya 90 pada 09-09-09

Mereka yang Mengejar Tanggal Cantik

Bagi sebagian kalangan, angka memang bukan sekadar simbol jumlah. Angka juga bisa menyiratkan harapan, keberuntungan, bahkan gengsi. Dua hari lagi, penanggalan Masehi menunjukkan triple nine, yakni 09-09-09. Tanggal itu juga dikejar orang untuk merayakan momen tertentu.

TAK salah rasanya jika disebut bahwa Henry Wijaya dikelilingi angka sembilan. Pada tanggal 9, bulan 9 (September), tahun 09 (2009), dia merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Kalau dihitung, dia dikitari empat angka 9. Kalau dijumlahkan, 9 x 4 sama dengan 36. Nah, 3 + 6 pun 9.

Sejatinya, Henry tidak pernah benar-benar memilih tanggal perayaan ulang tahunnya yang diadakan di Imperial Ballroom Pakuwon Golf & Family Club itu. ”Anak-anak yang milih,” ungkapnya ketika ditemui di kediamannya, kawasan Jalan Arjuna, kemarin (6/9). Apalagi tanggal lahir Henry sendiri bukan 9 September. Dia sejatinya tidak tahu lahir kapan. Dia hanya mengandalkan penanggalan Tionghoa untuk menghitung usianya. ”Pokoknya, tahun ini 90,” ujarnya.

”Kalau di dokumen resmi, Papa lahir 23 Juli 1919,” kata Helen Wijaya, anak bungsu Henry. Helen adalah orang yang memilih tanggal cantik tersebut sebagai hari perayaan ulang tahun papanya.

Memang, berdasar tradisi Tionghoa, setiap kelipatan usia 10, di atas 50 tahun, harus dirayakan meskipun sederhana. Henry pun tidak kuasa menolak. Sebab, anak, cucu, dan cicitnya terus mendesak dia agar mau memestakan ulang tahun tersebut. “Waktu ulang tahun yang 60, 70, sama 80 saya ndak mau. Sekarang saya baru mau,” kata pria yang memiliki 14 cicit tersebut.

Bapak sembilan anak -tiga di antara mereka meninggal saat kecil- itu menyerah pada desakan anak-anaknya karena berhasil diyakinkan bahwa ulang tahun kali ini adalah salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan. “Saya terima kasih sama Tuhan. Semua ini karena berkah dari Tuhan,” ucapnya sembari mengatupkan dua belah tangannya di depan dada lantas mengayunkannya seperti orang berdoa.

Fisik Henry terbilang sehat untuk mereka yang berusia hampir satu abad. Tutur katanya juga masih jelas. Begitu juga pendengaran. Hanya kakinya yang tidak terlalu kuat untuk menyangga tubuhnya yang cukup subur.

Dalam usia itu, Henry masih sering berenang. “Biasanya 15 menit, ya Pa,” kata Suwiro Wijaya, anak Henry yang tinggal bersamanya. “Nggak. Dua jam,” sanggah Henry.

Kuatnya stamina Henry terbukti saat wawancara. Dia betah duduk dan bercerita selama dua jam. Kemudian menjalani proses pemotretan yang berlangsung hampir satu jam. Bahkan, tidak jarang, dia melontarkan ide-ide gaya di depan kamera kepada anak-anaknya.

Selama wawancara, dia sering minta bantuan anaknya untuk menerjemahkan. Sebab, meski sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya, Henry lebih menguasai bahasa Hokkian daripada bahasa Indonesia.

Henry merasa kebiasaannya bersepeda kayuh semasa muda membantu dirinya untuk tetap sehat hingga di usianya sekarang.

Ingatan Henry juga masih kuat. “Saya datang ke Surabaya pada 1937. Kerja di toko. Segala mau. Nyapu, angkat barang. Bayarannya besar, 35 rupiah,” tuturnya mengenang kisah hidupnya 72 tahun lalu. Dari pegawai toko kelontong, Henry dibantu sang istri, Elia Wijaya, berhasil mengembangkan usaha sepatu yang kini dikenal sebagai pemilik merek Ardiles.

Ketika ditanya resepnya hingga bisa sehat dan berumur panjang. Dia berkali-kali mengucapkan kata sederhana. “Saya diajak makan ke restoran. Ndak mau. Saya suka makan soto saja,” tuturnya.

Selain itu, dia menegaskan untuk menjaga pikiran dan hati agar tetap baik. “Tidak usahlah omong kosong,” tegasnya. Dia juga tidak mau lagi dipusingkan dengan urusan bisnis. Dia tidak mau mendengar anak-anaknya bercerita tentang perusahaannya. “Saya minta anak dan cucu saling bantu. Kalau ada yang belum kerja, dibantu. Orang itu harus bantu. Punya sedikit, bantu sedikit. Punya banyak, bantu banyak,” tuturnya.

Meski tidak lagi ditemani sang istri yang meninggal lima tahun silam, Henry tidak pernah merasa kesepian. Setiap pagi, dia menyempatkan diri untuk pergi ke pasar. Sering dia pergi ke Pasar Genteng atau Pasar Pabean. Selain untuk berbelanja, dia juga menikmati pertemuan dengan segala macam orang di pasar. Setelah itu, dia menyibukkan diri di dapur. Biasanya, dia masak pangsit, bakmi, atau bihun.

Setelah matang, dia membagikannya ke anak dan cucunya. “Jadi, saya naik mobil, keliling sama sopir,” katanya, lantas tertawa.

Biasanya, setelah semua selesai, dia jalan-jalan sendirian bersama sopirnya. “Kadang papa beli bakpao dua. Dia bilang sama sopir, mau jalan-jalan. Kalau bakpaonya habis, dia sudah harus di rumah,” cerita Helen, lantas tertawa.

Kalau di rumah, Henry selalu melihat televisi atau membaca koran. “Kalau tidak baca, rasanya tidak tahan. Yang bahasa Indonesia saya lihat. Yang bahasa Mandarin, saya baca,” tuturnya. Jika tak bisa tidur di malam hari, dia memutar keping CD yang berisi cerita keadaan Tiongkok, tanah kelahirannya. Atau, dia memantau berita teranyar melalui saluran berita di televisi.

Henry menegaskan, sebagai orang tua, dia tidak ingin merepotkan anaknya. Apalagi mereka sudah punya keluarga sendiri. Jika ada perlu, baru dia menghubungi mereka. “Kalau mereka sibuk ndak bisa datang, saya yang datang ke rumahnya,” katanya, lantas tersenyum. (any/dos)

Fanatik Angka Sembilan

PASANGAN Roy Lukito dan Vanny Widyanti memang tergolong fanatik angka sembilan, bilangan tunggal yang paling tinggi. Vanny yang sedang hamil tua berencana melahirkan Rabu, 09-09-09 (2009). Itu adalah jajaran tiga angka 9, yang kalau dijumlah­kan menjadi 27. Bilangan 27 pun, kalau ditambahkan angka-angkanya, 2 + 7, juga jadi 9. Wow!

Kelahiran tersebut direncanakan lewat operasi caesar di RS Surabaya Internasional sekitar pukul 06.00. Sebenarnya, Vanny ingin lebih. Dia membayangkan bisa melahirkan pukul 09.00. Tapi, ruang operasi pada jam itu sudah full. Banyak calon ibu yang antre. ”Mau bagaimana lagi? Yang penting bisa melahirkan di tanggal cantik, saya sudah sangat gembira,” katanya, lantas tersenyum.

Di rumahnya, di kawasan Dharmahusada Emas, kemarin (6/9) Vanny sedang mengajar dua siswa SMP bermain piano. Murid itu lelaki dan perempuan. Meski sedang berperut besar, semangat Vanny tak lantas mengecil. Perempuan 32 tahun tersebut begitu energik. Raut mukanya tak menampakkan ekspresi lelah.

Dengan suara lembut, Vanny mengarahkan dua muridnya untuk mempelajari partitur-partitur klasik. Akhirnya, di ruang tersebut meluncurlah nada-nada indah besutan Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig von Beethoven.

Vanny mengatakan harus terus mengajar. Sebab, pada 8 September, dua muridnya tersebut akan mengadakan ujian kenaikan tingkat. Namanya ujian piano royal. Itu adalah ujian kenaikan tingkat (grade) untuk level-level permainan piano tertentu. Dua murid Vanny tersebut memang murid sekolah musik. ”Untunglah, fisik masih mampu (mengajar, Red),” ujar ibu satu orang anak tersebut.

Saat ini, usia kehamilan Vanny menginjak 38 minggu. Dalam standar ilmu kedokteran, usia normal kelahiran adalah jika kandungan sudah menginjak 40 minggu. Namun, karena Vanny berencana untuk melakukan bedah caesar, usia kehamilan tersebut bisa ditoleransi. ”Menurut dokter begitu,” tegas Vanny.

Karena itu, semua kelengkapan menuju proses persalinan sudah dirampungkan. Kemarin Roy Lukito, suami Vanny, sudah memesan kamar operasi. Istrinya tersebut akan masuk ke rumah sakit pada 8 September pukul 17.00.

**

Vanny mengungkapkan, kelahiran pada tanggal itu adalah sesuatu yang tidak direncanakan. Sebetulnya, dia memprogram kelahiran anak kedua tersebut pada Desember 2008. Namun, program itu batal. Janinnya keburu meninggal.

Vanny tak menyerah. Sebulan kemudian, dia memprogram ulang untuk membikin anak. Yang ini berhasil. Roy Lukito, suami Vanny, memang menginginkan anak kedua tersebut lahir pada 2009. Sebab, berdasar penanggalan Tiongkok, tahun ini tahun kerbau. Vanny percaya, anak yang dilahirkan pada tahun kerbau akan selalu mendapatkan rezeki melimpah dan berkah hidup. ”Di bulan apa saja lahirnya sebetulnya terserah. Yang penting pada tahun ini,” jelasnya.

Belakangan, pasangan suami istri tersebut berhitung. Kalau hamil pada pertengahan Januari, kalau tidak ada halangan, lahirnya bisa September. Vanny dan Roy pun sudah memperkirakan bahwa anak keduanya itu lahir sekitar 20 September.

Vanny memang memprediksi bahwa kelahiran si jabang bayi tersebut harus lewat operasi caesar. Itu tidak bisa dihindari. Sebab, ketika melahirkan anak pertama, Kenneth Lukito, pada 27 Februari 2004, Vanny juga menjalani bedah caesar. Kalau sudah begini, kemungkinan kecil Vanny bisa melahirkan dengan normal.

Roy juga penggila nomor sembilan. Ketika istrinya melahirkan Kenneth, sebetulnya ada banyak opsi tanggal yang bisa dipilih. Namun, Roy dan Vanny akhirnya memilih tanggal 27. Tanggal itu sebenarnya juga berarti sembilan. Sebab, dua ditambah tujuh sama dengan sembilan.

Vanny mengatakan, kehamilannya yang kedua itu lebih santai ketimbang yang pertama. Lima tahun lalu, tiga bulan sebelum operasi, kondisi fisik Vanny rewel luar biasa. Sehari-hari seluruh badannya terasa kaku. Perutnya mulas-mulas. Nyeri di mana-mana. ”Maklumlah, saat itu memang saya pertama hamil,” tuturnya.

Operasi kala itu pun cukup sulit. Kenneth terlilit tali pusat. Akibatnya, dia tidak bisa keluar lewat persalinan normal. Kalau dipaksakan, tentu sangat berisiko. Tidak hanya bayinya yang meninggal, ibunya pun bisa menemui ajal. Pembedahan caesar adalah pilihan terbaik. Untunglah, Vanny dan anaknya selamat.

Sekarang lain sekali ceritanya. Meski hamil, intensitas mengajar pianonya tidak berkurang sedikit pun. Dia mengajar piano klasik dari Senin sampai Sabtu pukul 14.30-pukul 18.00. Muridnya merentang, mulai usia taman kanak-kanak sampai anak kuliahan. ”Saya sendiri yang mengatur jadwal. Yah, disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu mereka,” tuturnya.

Dia santai saja menjalani hari-hari sebelum masuk meja operasi. Vanny mengatakan tidak terlalu tegang menghadapi hal itu. Kegentaran ada, namun porsinya tidak banyak. Dia tahu bahwa panggulnya tidak cukup besar sebagai jalan lewat calon banyi lelakinya yang diperkirakan berbobot hingga 3 kilogram tersebut.

***

Prof Soehartono Darmosoekarto SpOG(K) KFER adalah dokter yang akan mengoperasi Vanny. Soehartono memprediksi, operasi yang dijalani Vanny berjalan sangat lancar. Guru besar FK Universitas Airlangga itu menga­na­lo­gikan, operasi tersebut ibarat memacu mobil dengan kecepatan 80 km per jam di Jalan Tun­jungan.

”Yang berbahaya kan lewat Jalan Tunjungan, tapi kecepatannya 120 km per jam dengan melawan arus lagi,” tegas Soehartono ketika di hubungi Jawa Pos kemarin.

Selain sebagai salah satu metode medis, caesar, kata Soehartono, bisa menjadi sebuah tren. Beberapa dekade lalu, cara persalinan model itu tidak banyak dipilih. Di samping teknologinya masih belum mumpuni, orang zaman dulu, kata Soehartono, lebih tahan sakit. Lebih tahan banting.

Saat ini, banyak pasien Soehartono yang merasa ketakutan ketika berhadapan dengan dunia kedokteran. Misalnya, yang paling kasat mata, sekarang banyak anak kecil yang takut disuntik. Sesuatu yang tidak ditemui pada orang-orang beberapa dekade lampau.

”Jadi, orang yang berkantong tebal bisa melakukan kegiatan medis dengan risiko yang minim. Tentu dengan obat dan peralatan yang canggih. Termasuk operasi caesar ini,” tuturnya.

Ongkos yang dibayar untuk operasi caesar ini memang mahal. Rata-rata sebuah rumah sakit swasta Surabaya bisa mematok harga hingga Rp 36 juta untuk sekali operasi. Biaya itu sudah meliputi biaya persalinan, dokter, obat-obatan, dan fasilitas menginap tiga hari di rumah sakit pascaoperasi.

Harga tersebut, kata Soehartono, memang bisa layak. Sebab, fasilitas yang disediakan sudah canggih. Namun, itu berkebalikan jika ada pasien miskin yang terpaksa operasi caesar karena alasan medis. ”Biayanya tentu murah karena ditanggung jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat, Red),” jelasnya. (nur/dos)jawapos.com

    • siswomahardani
    • September 7th, 2009

    ada-ada aja….

  1. Saya ucapkan selamat ulang tahun semoga panjang umur…

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke siswomahardani Batalkan balasan